HUTAN INDONESIA PARU PARU DUNIA
Kondisi Indonesia yang masih memiliki hutan tropis di Kalimantan,
membuahkan harapan dalam mengatasi krisis perubahan iklim yang dialami
dunia saat ini. Namun dunia luar justru menilai Indonesia yang
menghancurkan upaya tersebut.
Juli 2010, investor Amerika Serikat (AS) Todd Lemons dan perusahan energi raksasa Rusia Gazprom yakin akan memenangkan proyek pelestarian hutan di Indonesia. Tetapi sudah setahun lebih, mereka hanya mendapatkan bahwa proyek mereka mulai menemui jalan buntu.
Birokrasi yang rumit di Indonesia. hukum yang tidak jelas serta aturan perusahaan kelapa sawit ditengarai menjadi biang keladi hancurnya proyek yang ditujukan untuk mengurangi bahaya perubahan iklim di dunia.
Proyek Rimba Raya di Kalimantan, disebut sebagai upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang ditujukan untuk memberikan negara berkembang imbalan agar dapat menjaga hutan mereka.
Lahan gambut yang terdapat pada hutan tropis di Indonesia dianggap ampuh menjaga miliaran ton karbon. Harta karun inilah yang menyebabkan hutan di Indonesia memegang peranan amat penting dalam perang melawan perubahan iklim yang mengancam dunia.
Dengan memberikan nilai pada karbon, proyek yang melibatkan 90 ribu hektare (ha) lahan, dapat membantu memberi bukti kepada investor, bahwa mereka dapat menghasilkan keuntungan dari hutan-hutan di dunia dengan cara-cara yang tidak merusak bisnis mereka.
Setelah tiga tahun rencana proyek ini dilakukan dan menghabiskan biaya lebih dari USD2 miliar atau sekira Rp17 triliun (Rp8.542 per USD) serta mendapat persetujan dari Jakarta, tantangan proyek ini ternyata jauh lebih besar. Tetapi tantangan tersebut lebih rumit dari pada merencanakan sebuah kerangka kerja yang dapat berfungsi di pasar.
Reuters menyebutkan bahwa pihak Kementerian Kehutanan Indonesia merasa skeptis dengan pasar dari karbon kredit hutan. Hal ini tentunya bertolak belakang mengingat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat mendukung skema investasi untuk melawan perubahan ini.
“Kesuksesan skema ini hanya tinggal dua bulan. Kami sudah mengikuti langkah yang diinginkan Pemerintah (Indonesia). Bila ada 12 langkah yang ditentukan, kami sudah menyelesaikan 11 langkah tersebut dalam waktu dua tahun,” ungkap investor Todd Lemons seperti dikutip Reuters, Selasa (30/8/2011).
Lemons menambahkan, memang jalan berliku dihadapinya, tetapi secara keseluruhan lama-kelamaan prosesnya makin berbelit dan melewati batas waktu yang ditentukan.
Kondisinya diperparah dengan keputusan Kementerian Kehutan memutuskan untuk memotong wilayah hutan dalam proyek tersebut, menjadi setengah dari sudah disepakati sebelumnya. Keputusan ini tentunya membuat proyek makin tidak dapat berjalan dengan baik.
Keputusan pihak kementerian untuk memberikan penanganan lahan gambut kepada sebuah perusahaan minyak kelapa sawit makin membuat proyek ini terhambat.
Kasus ini juga peringatan bagi Pemerintah Norwegia, sebagai donor terbesar bagi proyek hutan tropis ini. Mereka harus siap menghadapi sulitnya brikorasi pemerintah meskipun sepakat memberikan bantuan sebesar USD1 miliar atau sekira Rp8,5 triliun.dengan Indonesia.
Juli 2010, investor Amerika Serikat (AS) Todd Lemons dan perusahan energi raksasa Rusia Gazprom yakin akan memenangkan proyek pelestarian hutan di Indonesia. Tetapi sudah setahun lebih, mereka hanya mendapatkan bahwa proyek mereka mulai menemui jalan buntu.
Birokrasi yang rumit di Indonesia. hukum yang tidak jelas serta aturan perusahaan kelapa sawit ditengarai menjadi biang keladi hancurnya proyek yang ditujukan untuk mengurangi bahaya perubahan iklim di dunia.
Proyek Rimba Raya di Kalimantan, disebut sebagai upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang ditujukan untuk memberikan negara berkembang imbalan agar dapat menjaga hutan mereka.
Lahan gambut yang terdapat pada hutan tropis di Indonesia dianggap ampuh menjaga miliaran ton karbon. Harta karun inilah yang menyebabkan hutan di Indonesia memegang peranan amat penting dalam perang melawan perubahan iklim yang mengancam dunia.
Dengan memberikan nilai pada karbon, proyek yang melibatkan 90 ribu hektare (ha) lahan, dapat membantu memberi bukti kepada investor, bahwa mereka dapat menghasilkan keuntungan dari hutan-hutan di dunia dengan cara-cara yang tidak merusak bisnis mereka.
Setelah tiga tahun rencana proyek ini dilakukan dan menghabiskan biaya lebih dari USD2 miliar atau sekira Rp17 triliun (Rp8.542 per USD) serta mendapat persetujan dari Jakarta, tantangan proyek ini ternyata jauh lebih besar. Tetapi tantangan tersebut lebih rumit dari pada merencanakan sebuah kerangka kerja yang dapat berfungsi di pasar.
Reuters menyebutkan bahwa pihak Kementerian Kehutanan Indonesia merasa skeptis dengan pasar dari karbon kredit hutan. Hal ini tentunya bertolak belakang mengingat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat mendukung skema investasi untuk melawan perubahan ini.
“Kesuksesan skema ini hanya tinggal dua bulan. Kami sudah mengikuti langkah yang diinginkan Pemerintah (Indonesia). Bila ada 12 langkah yang ditentukan, kami sudah menyelesaikan 11 langkah tersebut dalam waktu dua tahun,” ungkap investor Todd Lemons seperti dikutip Reuters, Selasa (30/8/2011).
Lemons menambahkan, memang jalan berliku dihadapinya, tetapi secara keseluruhan lama-kelamaan prosesnya makin berbelit dan melewati batas waktu yang ditentukan.
Kondisinya diperparah dengan keputusan Kementerian Kehutan memutuskan untuk memotong wilayah hutan dalam proyek tersebut, menjadi setengah dari sudah disepakati sebelumnya. Keputusan ini tentunya membuat proyek makin tidak dapat berjalan dengan baik.
Keputusan pihak kementerian untuk memberikan penanganan lahan gambut kepada sebuah perusahaan minyak kelapa sawit makin membuat proyek ini terhambat.
Kasus ini juga peringatan bagi Pemerintah Norwegia, sebagai donor terbesar bagi proyek hutan tropis ini. Mereka harus siap menghadapi sulitnya brikorasi pemerintah meskipun sepakat memberikan bantuan sebesar USD1 miliar atau sekira Rp8,5 triliun.dengan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar